Arab Saudi Berubah Lebih Moderat atau Hanya 'Topeng' Saja?
Beberapa kebijakan itu antara lain membuka arena olahraga untuk perempuan, mengizinkan bioskop beroperasi, menggelar konser atau festival di ruang publik, mengizinkan pemakaian bikini di pantai tertentu, sampai membolehkan turis bukan muhrim menginap sekamar di hotel.
Selain itu, Saudi juga mengizinkan kaum laki-laki dan perempuan bercampur saat menonton konser dan turnamen olahraga. Pemerintahan Raja Salman juga mengizinkan perempuan mengemudi, masuk militer, dan mengizinkan perempuan bepergian sampai tinggal sendiri tanpa wali laki-laki.
Sejumlah pihak pun menganggap Saudi tengah bergerak menuju negara yang lebih terbuka dan tak lagi kaku meski masih menerapkan hukum Islam. Peralihan pandangan ini pun sejalan dengan Visi 2030 Arab Saudi yang dikenalkan MbS tak lama setelah diangkat sebagai Putra Mahkota.
Visi 2030 merupakan kerangka strategi dan misi Saudi mengurangi ketergantungan negara pada minyak sebagai sumber utama pemasukan dengan mendiversifikasi ekonominya dan mengembangkan sektor layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.
Beberapa pengamat pun menilai penerapan kebijakan yang lebih terbuka oleh Saudi dinilai penting guna menarik minat para investor hingga turis asing.
Terlepas dari kebijakan-kebijakan yang lebih terbuka itu, di satu sisi Arab Saudi masih banyak dikritik soal penegakan Hak Asasi Manusia.
Setahun setelah diangkat sebagai Putra Mahkota, MbS diyakini memerintahkan pembunuhan jurnalis Washington Post keturunan Saudi, Jamal Khashoggi, di Turki. Khashoggi, yang merupakan kritikus vokal MbS, tewas dibunuh di gedung konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober 2018.
Meski begitu, hingga kini MbS tidak pernah mengakui dirinya terkait pembunuhan Khashoggi meski mengakui itu dilakukan oleh oknum pemerintah Saudi yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, di era MbS, Saudi juga semakin getol menahan para ulama yang mengkritik kebijakan kerajaan. Salah satu yang paling dikenal ialah penangkapan imam Masjidil Haram, Sheikh Saleh Al-Thalib, pada 2018.
Pengadilan Arab Saudi baru-baru ini menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara terhadap Al-Thalib, karena ceramahnya yang dianggap bertentangan dengan aturan Kerajaan.
Al-Thalib menyampaikan ceramah yang mengkritik percampuran laki-laki dan perempuan di ruang publik pada 2018 lalu. Tak lama setelah itu, pihak berwenang Saudi menangkap Al Thalib. Mereka juga menonaktifkan akun Twitter miliknya.
Tak hanya Al-Thalib, sejumlah ulama dan para aktivis yang kritis juga ditangkap Kerajaan.
Jadi apakah Saudi benar-benar bergerak menuju negara yang lebih terbuka dan moderat?
Ahli studi kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, mengatakan Saudi masih belum cukup moderat terlepas dari berbagai kebijakan sosial yang lebih terbuka.
"Masih belum [moderat]. Dari aspek norma agama dan sosial Saudi menjadi lebih moderat tetapi sisi politik masih otoritarian," kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (25/8).
Sepanjang MbS memimpin terdapat sejumlah ulama yang ditangkap. Mereka yakni Salman Al-Awdah, Awal Al-Qarani, Farhan Al-Maliki, Mostafa Hassan dan Safar Al-Hawali.
Yon menganggap reformasi yang sudah dibuat MbS tak cukup menjadikan Saudi menjadi negara moderat karena hanya berfokus ke sektor sosial, ekonomi, dan budaya, namun melupakan bidang lain seperti penegakkan hak asasi manusia seperti kebebasan berpendapat.
"Moderat dari sisi keagamaan saja tetapi tidak demokratis," kata Yon lagi.
Yon kemudian menyoroti liberalisasi di Saudi hanya terjadi di bidang ekonomi dan sosial agama, sementara untuk politik tak ada sedikitpun keterbukaan.
Sebagaimana Visi 2030, Saudi menuntut Kerajaan melakukan modernisasi guna menumbuhkan ekonomi dari sektor non minyak.
Selain itu, sektor hiburan dan pariwisata juga menjadi alternatif baru bagi pendapatan negara.
Meski demikian, Yon mengatakan potensi moderat bisa saja terjadi di Saudi jika MbS menjadi raja dan perlahan membuka akses politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar