IRAN:Israel Akan Membayar Harga Tinggi Setelah Serangan Jalur Gaza
Iran mengutuk serangan Israel di Gaza . Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran bahkan mengatakan Israel akan "membayar mahal" atas kejahatan brutal yang menewaskan 24 orang, termasuk anak-anak.
"Israel akan membayar harga berat lagi untuk kejahatan baru-baru ini," kata Kepala Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran Hossein Salami, seperti dilansir Al Jazeera , Sabtu (6/8).
“Perjuangan Palestina lebih kuat hari ini daripada sebelumnya. Kelompok-kelompok bersenjata telah menemukan kemampuan untuk mengelola perang besar,” katanya.
Tak hanya itu, ia juga
memastikan Palestina tidak sendirian dalam menghadapi serangan Israel. IRGC Iran yakin bahwa mereka akan terus berpartisipasi dalam perjuangan melawan Israel.
"Kami bersama Anda di jalan ini sampai akhir, dan biarkan Palestina dan Palestina tahu bahwa mereka tidak sendirian," katanya kepada pemimpin kunjungan kelompok Jihad Islam, Ziad al-Nakhala, selama pertemuan di Teheran.
Tak hanya itu, Kementerian Luar Negeri Iran juga mengecam “serangan brutal” Israel di Gaza.
Presiden Ebrahim Raisi mengatakan Israel "sekali lagi menunjukkan pendudukan dan agresinya kepada dunia."
Sebelumnya, Israel membombardir Jalur Gaza dalam dua hari hingga Sabtu (6/8). Sedikitnya 24 orang, termasuk 6 anak-anak, tewas dalam serangan Israel di Jalur Gaza, Palestina.
Kementerian Kesehatan Jalur Gaza mengkonfirmasi laporan ini. Mereka juga mencatat 203 orang terluka akibat serangan Israel.
Berdasarkan catatan Palestina, anak-anak yang meninggal merupakan korban serangan udara Israel di Jabalia. Namun, Israel membantah pasukannya melancarkan serangan di daerah tersebut.
Bentrokan ini bermula pada Jumat (5/8), saat Israel melancarkan serangan udara sebagai tindakan preventif. Menurut mereka, kelompok Jihad Islam berencana menyerang Israel.
Sedikitnya 15 orang tewas akibat serangan Israel, salah satunya adalah anak perempuan berusia lima tahun. Sementara itu, 55 warga Palestina lainnya juga terluka.
Dilansir di Saudi Gazette, Ahad (7/8/2022), patut dicatat jumlah korban syahid akibat agresi Israel yang terus-menerus di Jalur Gaza sejak Jumat, naik menjadi 15 orang. Selain itu, aksi ini juga melukai lebih dari 125 orang
Pergerakan pesawat-pesawat tempur pendudukan ini melakukan beberapa serangan rudal di wilayah-wilayah terpisah di Jalur Gaza, meratakan beberapa rumah
Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan, seorang wanita tua Palestina menjadi martir dalam serangan Israel di dekat kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara, setelah seorang wanita lain tewas dalam serangan Israel sebelumnya.
Beberapa orang terluka ketika sebuah kendaraan sipil menjadi sasaran di dekat pos pemeriksaan Beit Hanoun di Jalur Gaza utara. Kala itu, mereka sedang mengangkut seorang pengantin wanita ke rumah suaminya.
Selain itu, dua warga sipil Palestina tewas dan beberapa lainnya terluka, menyusul pemboman Israel di daerah Al-Zanah di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan.
Kecaman serupa sebelumnya dilontarkan Palestina. Palestina menilai, serangan itu menekankan pelanggaran Israel terhadap hukum internasional dan resolusi PBB.
“Negara Palestina mengutuk serangan terencana pendudukan Israel terhadap orang-orang Palestina di Gaza. Ini menekankan bahwa agresi berkelanjutan Israel, termasuk serangan baru-baru ini di Gaza dan pengepungan ilegal yang berkelanjutan di Jalur Gaza, merupakan pelanggaran mencolok dan serius terhadap setiap prinsip hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa Keempat, dan resolusi PBB," kata Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Palestina, Sabtu (6/8/2022), dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.
Palestina mendesak Dewan Keamanan PBB dan pihak dalam Konvensi Jenewa Keempat untuk segera melakukan intervensi menghentikan agresi Israel terhadap rakyat Palestina.
“Tidak adanya pertanggungjawaban internasional terus mendorong Israel, Kekuatan pendudukan kolonial, untuk bertahan dalam melakukan kejahatan internasional yang serius terhadap rakyat Palestina, menginjak-injak hak asasi mereka dan menyebabkan kematian yang meluas, cedera dan kehancuran yang tidak disengaja,” kata Kemenlu Palestina.
Palestina mendesak Dewan Keamanan PBB dan pihak dalam Konvensi Jenewa Keempat untuk segera melakukan intervensi menghentikan agresi Israel terhadap rakyat Palestina.
Saat ini beberapa negara tengah berperang. Ketegangan antarnegara ini disebabkan oleh berbagai hal seperti wilayah kekuasaan, politik ekonomi dan agama.
Sebut saja perang yang sedang terjadi adalah antara negara Rusia dan Ukraina. Perang telah memasuki hari ke-162 dan sejauh ini, belum ada tanda-tanda mereka selesai, bahkan sejatinya masih bereskalasi.
Tak hanya Rusia dan Ukraina, perang itu pun telah memancing keterlibatan berbagai negara seperti Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya.
Terlibatnya sejumlah negara itu menimbulkan kekhawatiran akan perang yang meluas dengan senjata pemusnah massal seperti nuklir.
Presiden Rusia Vladimir Putin sejatinya membantah bahwa nuklir akan menjadi solusi atas perang tersebut. Namun, kekhawatiran dunia akan penggunaan senjata tersebut masih sulit dihilangkan.
"Kami melanjutkan dari fakta bahwa tidak ada pemenang dalam perang nuklir dan itu tidak boleh dilepaskan, dan kami berdiri untuk keamanan yang sama dan tak terpisahkan untuk semua anggota komunitas dunia," kata presiden yang juga mantan anggota intelijen Soviet itu dikutip Reuters.
'Derita' Dunia
Perang itu pun telah menjadi katalis bagi 'derita' dunia yang masih berjuang untuk pulih dari pandemi Covid-19.
Perang tersebut telah menyebabkan gangguan rantai pasok global, terutama bagi komoditas pangan dan energi. Sebagai dua negara eksportir gandum dan biji-bijian, perang Rusia dan Ukraina telah menyebabkan harga bahan pangan melonjak.
Meskipun ekspor gandum dari Ukraina baru saja dibuka kembali, dampak yang telah ditimbulkan dalam beberapa bulan terakhir telah memukul sejumlah negara yang sangat bergantung pada impor produk pangan tersebut.
Selain makanan, gangguan pada sektor energi pun telah menjadi ancaman besar bagi dunia. Bagaimana tidak, Rusia saat ini masih menjadi salah satu eksportir migas terbesar dunia. Di sisi lain, Eropa dan Amerika Serikat begitu giat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Negeri Beruang Merah sehingga pasokan migasnya terganggu.
Bahkan, sanksi tersebut kini menjadi senjata makan tuan bagi Eropa yang sekitar 40% kebutuhan energinya dipenuhi oleh Rusia.
Gangguan energi dan pangan tersebut akhirnya melambungkan harga kedua kelompok komoditas global tersebut dan memicu krisis energi di berbagai pelosok dunia. Hasilnya dapat ditebak, 'hantu' inflasi kini menghampiri sebagian besar negara di dunia.
Inflasi itu pun datang pada saat yang 'tidak tepat'. Pasalnya, kenaikan indeks harga konsumen itu berbarengan dengan upaya berbagai negara untuk memulihkan ekonominya setelah terpukul pandemi Covid-19 sejak 2020.
Kondisi itu pun menimbulkan dilema bagi para pemangku kebijakan karena peningkatan suku bunga untuk meredam inflasi akan melemahkan upaya kebangkitan ekonomi sehingga meningkatkan risiko resesi.
Pesta' Nuklir
Tak hanya persoalan perang di Ukraina, baru-baru ini risiko Perang Dunia 3 kembali muncul dari Asia, tepatnya Korea Utara.
Baru-baru ini, Korea Utara mengatakan intensinya untuk memobilisasi sistem persenjataan nuklir.
Hal ini dilontarkannya tatkala hubungan antara Pyongyang dengan Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat (AS) memanas.
Dalam pidato untuk menandai gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea atau yang dikenal dengan 'Hari Kemenangan', Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong Un mengatakan AS telah menjadi ancaman besar bagi negaranya.
Ia bahkan mengaku siap bila memang terjadi perang yang melibatkan nuklir antara negaranya dengan Korsel dan AS.
"Angkatan bersenjata kami benar-benar siap untuk menanggapi krisis apa pun, dan pencegahan perang nuklir negara kami juga sepenuhnya siap untuk memobilisasi kekuatan absolutnya dengan setia, akurat, dan segera ke misinya," katanya dalam sebuah sesi yang ditayangkan media pemerintah dan dikutip Al Jazeera.
Korut sendiri memang diketahui menjadi salah satu negara dengan kepemilikan senjata nuklir. Dalam rilis terbaru Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Pyongyang disebut memiliki 40 hingga 50 senjata nuklir.
Di sisi lain, Korsel yang merupakan rivalnya tidak memiliki senjata nuklir. Meski begitu, salah satu sekutu strategis Seoul yakni AS memilikinya.
Dalam data SIPRI, AS adalah salah satu kekuatan nuklir terbesar di dunia. Negeri Paman Sam itu memiliki hingga 5.550 unit hulu ledak nuklir. Angka ini hanya berada di bawah Rusia yang mempunyai hingga 6.255 unit.
China Vs Taiwan
Belum habis masalah perang dan ancaman nuklir antarnegara, dunia kembali dihebohkan oleh kunjungan kontroversial Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan.
Sebelum rencana kedatangan Pelosi diumumkan pada bulan lalu, hubungan China dan Taiwan sudah menegang.
Beijing menganggap kehadirannya sebagai provokasi besar, meluncurkan peringatan, dan ancaman yang makin keras. Pelosi sendiri merupakan pejabat AS terpilih dengan profil tertinggi yang mengunjungi Taiwan dalam 25 tahun terakhir.
Sampai saat ini China menganggap Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri dan demokratis sebagai wilayahnya dan telah berjanji suatu hari akan mengambil pulau itu, dengan paksa jika perlu.
Jelang kedatangan Pelosi, China pun telah mengirimkan militernya mengelilingi Taiwan dengan 'dalih' latihan militer.
Kabar terbaru menyebutkan China akan memulai latihan militer terbesarnya yang mengelilingi Taiwan, sejak Kamis (4/8/2022). Ini merupakan reaksi terbaru pemerintah Presiden Xi Jinping usai kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi yang membuat marah negeri itu.
"Latihan itu belum pernah terjadi sebelumnya dan bahwa rudal akan terbang di atas Taiwan untuk pertama kalinya," tulis tabloid nasionalis yang dikelola China, Global Times, mengutip analis militer.
"Ini adalah pertama kalinya PLA (tentara China) akan meluncurkan artileri jarak jauh langsung melintasi Selat Taiwan," kata surat kabar itu.
Ketegangan di Taiwan pun berpotensi meluas dan menimbulkan dampak yang tidak sedikit.
Korea Utara dan Rusia, misalnya, berada di sisi China dan AS cs berusaha mengecam sikap Negeri Tirai Bambu tersebut meskipun tidak secara eksplisit mendukung Taiwan.
Dari sisi ekonomi, ketegangan yang melibatkan China, Taiwan, dan AS itu pun menjadi ancaman bagi rantai pasok cip semikonduktor yang sangat dibutuhkan oleh berbagai sektor industri, termasuk otomotif global.
Gaza- Israel
Pertikaian antara Israel dan Palestina disebabkan oleh politik, untuk merebut kembali wilayah kekuasaan masing-masing.
Sejak tahun 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 181 untuk membagi wilayah menjadi dua negara.
Pada tahun 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaan namun tanpa mengumumkan titik perbatasan negara dengan jelas.
Sehingga dari sinilah mulai terjadi pertikaian untuk merebut wilayah kekuasaan.
Pada tahun 1988, tepi Barat, Jalur Gaza dan Jerusalem Timur menjadi wilayah teritori Palestina. Status batas garis final antara kedua negara, telah dinegosiasikan.
Namun pembicaraan selama beberapa dekade belum membuahkan hasil. Dari tahun 2008 sampai 2021 sebanyak 6 ribu orang harus kehilangan nyawanya akibat peristiwa pertikaian antara Palestina dan Israel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar